Memerdekakan Perempuan dari Diskriminasi

1Agustus

Di tahun 1979, PBB mengeluarkan sebuah Konvensi yang meminta seluruh negara anggota untuk menghapus segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Konvensi ini terkenal dengan nama CEDAW (Convention on the Elimination of all kinds of Discrimination Against Women). Di PBB, badan khusus yang memonitor pelaksanaan CEDAW tersebut  adalah Komisi untuk Status Perempuan bernama CSW (Commission on the Status of Women (CSW). Badan ini sudah cukup lama berdiri, yaitu sejak 1946.

Negara Pengemban Tugas Pemenuhan Hak Azasi Perempuan/HAP

CEDAW dimaksudkan untuk melindungi Hak-hak Azasi Perempuan (HAP), dan pelaksana utamanya adalah Negara. Dengan demikian, negara adalah institusi yang bertugas untuk memastikan hak HAP terpenuhi, dan terlindungi. Bahkan harus mendidiknya dan memperkenalkannya ke seluruh bangsa di negara tersebut.

CEDAW kemudian diundangkan oleh Pemerintah Indonesia di tahun 1984, menjadi UU No.7 tahun 1984. Tetapi khusus pasal 29 yang menyebut bahwa apabila terjadi Pelanggaran HAP atau adanya misinterpretasi terhadap pelaksanaan HAP, dapat dilakukan ‘arbitrase’, atau bahkan Negara ybs dapat dibawa ke Pengadilan Internasional; tidak ikut diratifikasi (disebut dengan istilah: reservasi).

2Agustus

Untunglah, 20 tahun kemudian yaitu di tahun 1999, PBB mengeluarkan ‘Optional Protocol’ yang dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi kelompok atau bahkan perseorangan untuk mengadukan pelanggaran HAP atau segala bentuk penyimpangan penerapan CEDAW di sebuah negara.

Bagaimana dengan Indonesia???

Di Indonesia, monitoring pelaksanaan CEDAW (atau UU no.7 tahun 1984) dilaksanakan oleh sebuah kelompok kerja bernama CWGI (CEDAW Working Group of Indonesia). Setiap tahun kelompok ini memberi laporan kepada CSW di atas mengenai kemajuan pelaksanaan CEDAW di Indonesia, termasuk pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.

Laporan ini dan seluruh laporan negara-negara lain dibahas di PBB dan untuk negara-negara yang belum beres pelaksanaan CEDAW, untuk kemudian diberi rekomendasi untuk segera dilaksanakan.

Menuntut Pelaksanaan Rekomendasi CWG di Indonesia

Persis di bulan kemerdekaan yang ke 68 tahun ini, tepatnya 22 Agustus 2013; CWGI bersama dengan Sekretariat Amnesty International (LSM Internasional untuk Penegakan Hak Azasi Manusia), mengirim surat terbuka kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia, Ibu Linda Agum Gumelar. Sekaligus juga kepada Kementerian Hukum dan HAM, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kesehatan, dan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia.

Surat ini berisi pokok-pokok tuntutan atas lemahnya pelaksanaan Rekomendasi CWG untuk Indonesia, dan meminta mereka untuk memenuhi kewajiban Indonesia dalam hal-hal berikut:

  • Meninjau dan memperbaiki UU Perkawinan (No. 1/1974) untuk menghilangkan ketentuan yang mendiskriminasi perempuan, termasuk usia perkawinan dan poligami, atau mengabadikan stereotip jender;
  • Mereview semua peraturan dan kebijakan daerah di seluruh Indonesia yang mendiskriminasi perempuan dalam hukum, kebijakan dan praktek, termasuk untuk memastikan bahwa mereka sepenuhnya sesuai dengan Kewajiban Indonesia menurut Konvensi;
  • Segera mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor. 1636/MENKES/ PER/XI/2010 tentang “sunat perempuan” dan meloloskan undang-undang khusus yang melarang mutilasi alat kelamin perempuan, serta memberikan hukuman yang sesuai bagi mereka yang melakukan mutilasi kelamin perempuan;
  • Mengeluarkan peraturan khusus yang mengatur hak-hak tenaga kerja bagi PRT sesuai dengan hukum dan standar internasional;
  • Melakukan debat, memberlakukan dan menerapkan secepatnya UU baru tentang Komisi Kebenaran sesuai dengan hukum dan standar internasional, memastikan bahwa Kejahatan Terhadap Perempuan dapat diatasi secara memadai;
  • Memberikan ganti rugi penuh, efektif dan transformatif bagi semua korban pelanggaran HAM di masa lalu dan mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin bahwa perempuan dapat mengakses pemulihan yang efektif, termasuk langkah-langkah yang dirancang untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi yang dialami Korban Kekerasan Seksual dan  stereotip gender yang mendasari kekerasan terhadap perempuan, serta Meratifikasi Protokol Opsional CEDAW dan ILO Konvensi ILO No 189 mengenai PRT, menggabungkan ketentuannya dalam hukum dalam negeri (Indonesia), dan menerapkannya dalam kebijakan dan praktek/pelaksanaannya.

Demikianlah isi ringkas surat tersebut, yang dapat menggambarkan bagaimana Perempuan Indonesia pada dasarnya masih berjuang untuk dapat merdeka dari penindasan yang bernama diskriminasi terhadap perempuan.

Mari terus berjuang dari lingkungan sekitar kita sampai ke tingkat negara untuk bersama MERDEKA… (DL – dari berbagai sumber dan terjemahan bebas)

Explore posts in the same categories: Tema Kita

Tinggalkan komentar